Minggu, 17 Maret 2024

"Kita Ini Orang-Orang Buangan"

“Kita ini orang-orang buangan.” Dua kali aku mendengarnya hari ini, di ruangan Oma dan di ruangan Opa.

Pagi hari itu cuaca mendung. Hari libur Nyepi. Jalanan terlihat sepi. Enam mobil menuju ke arah yang sama. Melewati area pelabuhan yang terdapat banyak container. Tidak terlihat pusat perbelanjaan seperti area Jakarta lainnya. Hidup disini terasa keras. 

Kami mulai memasuki jalan sempit. Terasa mepet ketika melewati mobil yang sedang parkir. Tiba-tiba banyak anak yang mengarahkan kami parkiran sekolah. Banyak perawakan mereka seperti dari Flores. Ketika memasuki parkiran sekolah, kami melihat ada satu bangunan dengan penuh jemuran baju di pagarnya. Seorang opa dengan tongkatnya terlihat sedang masuk ke dalam bangunan. Di depan bangunan tersebut terdapat pembuangan sampah. Baunya agak menyengat. Sepertinya itu ruangan para Opa. Dan ketika bertanya kepada pengurusnya ternyata benar.

Sesuai rencana, setelah semua berkumpul, dan kami memulai mengunjungi ruangan para oma. Bawaan beberapa kotak berisi makanan dan souvenir dan barang lainnya digotong ke ruangan tersebut melewati jalan-jalan becek. 

Pada ruangan yang kira- kira berukuran 6x10 meter terdapat 12 ranjang dengan rangka besi. Sekeliling terpasang jendela, yang membuat sirkulasi ruangan yang baik. Ranjang yang terisi ada 8 wanita, 7 diantaranya lansia, dan 1 yang masih muda tetapi sepertinya ada kondisi spesial. Satu dispenser air yang terlihat kotor berada di sebelah pintu menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi terpasang pegangan-pegangan besi untuk mencegah penghuni jatuh. Air di wastafelnya tidak mengalir. Tumpukan baju kotor terongok di bawah area wastafel.

Singkat kata kamipun membagikan kue, bola latihan, makanan dan souvenir. Dokter Caepy mengecek kesehatan para penghuni dibantu putranya Dhira yang sigap. Mengecek tekanan darah, dan menanyakan keluhan-keluhan oma-oma. Kami mencoba berbaur dengan para oma. 

Oma Siti dari Palembang yang kedua matanya tidak dapat melihat mengeluhkan suka kedinginan, sakit di badan, tetapi terlihat ceria dalam menjawab pertanyaan kami. Teman sebelah ranjangnya Oma Bersy berasal dari Manado. Saat bercerita tentang makanan khas daerah masing-masing, raut wajah mereka terlihat bersemangat. Seketika aku memikirkan sepertinya boleh nih kalau kadang-kadang bisa bawa makanan khas kesukaan mereka. Di atas ranjang Oma Bersy terlihat satu cup pop mie. Oma Siti dan Oma Bersy terlihat sangat menikmati kue bolu gulung buatan Liece. “Enak sekali” Kata Oma Siti. 

Ibu Susana terbaring miring diatas ranjangnya yang beralaskan bahan spanduk. Kepalanya di atas bantalnya yang tidak ada sarungnya, kotor telihat. Kedua kakinya terlihat mulai hitam dan penuh koreng, tangan kirinya terlihat ada dislokasi tulang. Beliau mengeluhkan kondisinya yang ditinggal anaknya di panti. “Anakku hanya memerdulikan pacarnya, tidak perduli padaku. Aku dibuangnya di sini.” Ibu Susana terus menerus mengeluhkan kondisinya kepada kami yang menghampirinya dan meminta uang, katanya untuk membeli makan karena kalau tidak kasih uang, tidak ada yang mau membantunya.

Empat penghuni lainnya, ada yang terkena storke menggunakan tongkat, ada yang hanya terbaring dengan diam, satu oma berbaju hijau terlihat pemalu, hanya tersenyum. Dan ada satu anak muda yang sepertinya ada keterbelakangan mental. 

          “Kita ini sudah dibuang sama anak. Jadi kita terima sajalah.” Kata Oma yang paling ceria di ruangan ini, dengan penampilannya yang berkacamata, beliau yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami dan menjelaskan kondisi disana. Oma yang tegas ini menempati ranjang yang paling depan, ranjangnya terlihat paling rapi dibandingkan penghuni lainnya. Sepertinya beliau juga yang membantu menjaga penghuni-penghuni yang lain. 

Kami menghabiskan waktu di ruangan Oma cukup lama. Melihat raut wajah yang berbeda dari setiap mereka, membuatku bertanya-tanya apa isi hati mereka. Melihat ke sekeliling ruangan, untungnya ada jendela di hampir semua sisi, jadi sirkulasi udara termasuk sangat baik. Setelah membagikan buah, kue, biskuit, nasi, selimut, kami pamit kepada para Oma untuk  berkunjung ke ruang Opa.

Berjalan melewati gereja, ruang Opa terdapat 5 ranjang, 4 ranjang untuk para Opa dan sepertinya 1 ranjang untuk pengurus. Pengurusnya adalah anak asuh Panti Asuhan. Ada Opa Yohanes yang sangat ceria, perawakannya plontos, penuh senyum. Ranjangnya penuh dengan boneka. Katanya beliau terkena osteoporosis. Berjalan dengan bantuan walker. Dengan semangat beliau cerita setiap pagi ada doa bersama, dan setiap Minggu pasti ke Gereja (yang terdapat di sebelah panti persis). Kadang-kadang Opa Yohanes juga menggoda anak-anak yang berkunjung. Ganteng katanya anak-anak Liece dan Dharma yang sigap membagikan kue dan makanan. 

Di seberang ranjangnya ada Opa Ferry, yang terlihat pendiam, ada tongkat di sampingnya, beliau menderita stroke dan darah tinggi. Dari ranjangnya terlihat cukup rapi. Dari yang tadinya hanya tersenyum sambil memperhatikan, pelan-pelan Opa Ferry mulai membuka diri. Dari ceritanya, anaknya mengusirnya ketika beliau terkena stroke. Adiknya yang membawanya ke panti ini. Istrinya di Semarang, tidak tahu kalau Opa Ferry di panti jompo. Katanya, kalau ada ongkos, mau ke Semarang. Lalu beliau bercerita lagi, kalau dulu ke German, ke Kalimantan, tapi sekarang malah di sini. 

 Saat ditanya kami dari mana, aku menjawab kami dari Ikatan Alumni Keluarga Mahasiswa Buddhis Parahyangan. Seketika beliau menangis tanpa suara. Katanya “Aku ini Chinese.” Untuk sesaat Opa Ferry terdiam. Lalu setelah agak tenang, beliau bilang “Kami ini orang-orang buangan.” Aku ga tau mau ngomong apa, cuman bisa bilang, “Om Sabar ya, maafin anak-anak Om. Kalau Om kesal, ini remas-remas bola ini aja jadi sekalian kesalnya hilang dan latihan biar cepat sembuh. Sering-sering latih kaki juga.” 

Lalu Opa Ferry mengatakan bahwa salah satu penghuni lainnya ini ada keterbelakangan mental, biasanya tidak mau pakai baju, hari ini dipaksa-paksa untuk pakai  baju, untungnya mau. Buang air kecil dan besar diatas ranjang. Ranjangnya memang terlihat kotor, tidak ada spreinya dan terlihat agak basah. Beberapa lalat terlihat. Bapak itu memakai baju yang bolong-bolong terlihat terus makan dan makan.

Lalu ada Opa yang ranjangnya paling depan dekat pintu masuk menderita katarak. Secara fisik cukup baik. Dulunya beliau kerja di bidang minyak. Penglihatannya memudar, butuh operasi. Hanya saja mau biaya dari mana. 

Saat ini di panti ini terdapat 12 Opa Oma, 65 anak asuh tidak semuanya yatim piatu, tetapi karena kekurangan biaya di Nias, jadi diasuh disini, dengan 20 pengurus. Anak – anak juga disekolahkan. Dari info dengan Pak Beba, tidak ada donatur tetap. 

Baru-baru ini ada Oma yang meninggal, kata Pak Beba, kadang jika ada orang tua yang meninggal, keluarganya tidak dapat dihubungi. Akhrinya mereka melapor ke Pak RT, dan memproses pemakamannya. Kadang ada keluarga yang akhirnya datang, orang tuanya sudah tiada, komplain. Padahal sudah dihubungi dan tidak bisa terhubungi.

Penampakan panti jompo ini mungkin karena keterbatasan area, tidak ada ruang tamu ataupun ruang aktivitas, jadi memang sehari-hari jika ada yang memiliki keterbatasan fisik tidak bisa bergerak kemana-mana. Sungguh kondisi yang tidak nyaman. Saya tidak berani membayangkan hari-hari yang harus dilewati para orang tua tersebut. Dari panti lainnya yang pernah saya kunjungi, panti ini membutuhkan perhatian lebih. Mungkin karena panti ini menampung orang-orang yang tidak mampu, jadi kondisinya juga tidak bisa seindah panti-panti jompo lainnya dengan fasilitas lengkap.

Saat perkenalan-perkenalan dengan Opa Oma di panti, membuatku merenung. Bagi yang masih memiliki kepahitan-kepahitan, terasa sangat menderita. Lebih menderita lagi saat kita memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik. Membuat kita untuk sulit menumbuhkan pikiran-pikiran baik. Berbeda dengan yang sudah melepaskan kepahitan-kepahitan. Menerima kondisi yang ada. Let it flow. 

As a daughter, as a mother aku memiliki harapan-harapan. Berbakti kepada orang tua, dan bisa hidup di masa tua dengan baik. Tetapi apakah ada yang bisa menjamin pasti bisa tercapai seperti keinginan kita? Semoga pikiran-pikiran baik bisa menyertai para penghuni panti, dan semoga semakin banyak yang bisa berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan, menghibur, membantu dan menguatkan mereka di saat mereka merasa ‘terbuang’. Sehingga tidak akan ada lagi kata-kata “Kami ini orang-orang buangan.”



Rabu, 08 Februari 2017

"INGIN" Sumber Penderitaan

Beberapa peristiwa belakangan membuat saya ingin menulis tentang Penderitaan.

Penderitaan menurut Lama Cakra (alm) datang dari tiga hal:
- rasa ingin tahu/ ingin memperhatikan
- rasa ingin diperhatikan
- rasa bosan/ ingin sesuatu yang baru

pada dasarnya jika disimpulkan adalah Rasa INGIN.

aku ingin begini, aku ingin begitu...(doraemon version) jangan-jangan sejak kecil kita sudah didoktrin untuk tidak cepat puas. Hahaha... manusia oh manusia.

1. Ingin Memperhatikan / Ingin tahu
Belum tentu orang yang kita perhatikan merasa nyaman, belum tentu setelah kita tahu mengenai satu hal kita akan merasa nyaman, menyebabkan penderitaan. 

Contoh kasus, sebagai Ibu kita ingin memperhatikan anak-anak kita, dan ingin memastikan semua berjalan seperti yang kita harapkan, ketika tidak berjalan seperti yang kita harapkan, menderita. Contoh lain sebagai makhluk sosial ; memperhatikan account para pesohor, or teman lain yang "sepertinya" lebih sukses, ketika kita bandingkan ke diri kita sendiri, kita akan merasa tidak cukup - penderitaan. Atau contoh lain lagi ; biasanya ada nih teman-teman or saudara yang ingin menceritakan sesuatu yang dianggap "rahasia" - sebenarnya kalo kita tidak tahu tidak ada ruginya, tapi karena akhirnya kita memperhatikan, kita juga jadi tahu mengenai "rahasia' itu, akhirnya timbul pikiran - pikiran ga jelas yang terkadang bagi beberapa orang jadi "gatel" kalo ga menceritakan ke orang lainnya. Lebih buruknya jika "rahasia" itu terbongkar dan membawa efek bola salju. - penderitaan lagi.

2. Ingin Diperhatikan
Pada dasarnya manusia memiliki ego. Tetapi jangan egosentris, narsisme, ingin dipuji. Sekalinya tidak diperhatikan kita akan merasa dunia seakan-akan tidak berpihak lagi pada kita. (biasa terjadi pada pribadi yang merasa dunia seolah dunia hanya berputar pada diri sendiri). Bagi beberapa orang yang selama ini dunia berpihak padanya, dan seketika ketika dunia tak lagi memujanya, rasanya....ugh kenapa sih begitu?

Coba saja lihat berapa account yang berlomba-lomba memiliki follower terbanyak. Betapa kita bela-belain ngantri untuk menjadi orang pertama di sebuah tempat yang happening, or memiliki gadget teranyar, or post foto dengan pose yang membuat kita bertaruh nyawa. Semuanya karena menginginkan Likes yang banyak, follower yang banyak. Kalau koceknya cukup sih ga masalah, tapi kalau demi postingan yang terlihat wah, terlilit utang sana sini, bela-belain tiap hari makan mie instant supaya bisa post di tempat makan happening (saya baca dari artikel) - kayanya penderitaan banget deh.

3. Rasa Ingin sesuatu yang baru / Rasa Bosan
Rasa bosan terhadap suatu benda, atau seseorang cendurung membuat kita menginginkan sesuatu yang lebih lagi baik material, ataupun kepuasan nonmateriil. Rasa bosan memicu keingintahuan mengenai hal-hal baru, memperhatikan hal-hal baru. Lihatlah bagaimana seseorang yang cepat bosan beralih dari satu hal ke hal yang lain. - akankah memicu penderitaan?

Ketiga ke"ingin'an layaknya ikatan satu sama lain yang tidak terputus. Ini tentunya melekat dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia. 
Ada yang bilang jika tidak ada keinginan, akan tidak tercapai hal-hal yang diinginkan. (Nah pusing kan?)
Ada yang bilang jadi manusia tidak boleh cepat puas.

Tapi sampai kapanpun "ingin" ini akan selalu ada. Saya rasa yang bisa mengeremnya hanyalah "being grateful" ; what do you think? (this purely open for discussion)

Ada satu keinginan yang sepertinya merupakan salah satu sumber penderitaan,
Rasa ingin semuanya berjalan seperti yang kita inginkan. Which we know it's impossible.
Kadang kala alam semesta akan ikut mendukung kita, kadang kala tidak.

Apa yang dapat kita lakukan?

"Ketika kita tidak dapat mengontrol apa yang terjadi, tantang diri kita untuk mengontrol bagaimana kita merespons untuk kejadian tersebut." ---- saya translate dari quotes dalam bahasa Inggris.

So... menurut Anda apa itu Penderitaan?

Minggu, 13 September 2015

Bekal Hidup

There are something that money just cannot buy, like manners, morals, and intelligence.

Terkadang manusia (termasuk saya sendiri) terlalu mengagungkan yang namanya materi.
Kita menilai dari apa yang seseorang kenakan, kendaraan apa yang digunakan, atau di lingkungan tempat tinggal. Pertemanan juga terkadang diseleksi melalui kemampuan ekonominya.

Pernah suatu hari, saya ke tempat pijat langganan yang tukang pijatnya ibu-ibu separuh baya semua. Saat itu tubuh sedang capai-capainya ingin dipijat. Pucuk dicinta ulam tiba, ada si ibu tukang pijat favorit saya (sebut saja Mbok Ana). Pas saya bilang, "Saya mau pijat Bu". Dia menjawab dengan nada setengah tertahan, "maaf Non, saya lagi ada masalah dengan pelanggan, jadi selama masalah ini belum kelar, saya ga terima dulu (mijit maksudnya)". Saya melihat raut mukanya yang agak tegang. "Oh gapapa, Bu" dengan sedikit kebingungan. Dan akhirnyapun saya dipijat oleh mbok lainnya. 

Selama dipijat, karena berada di ruangan yang sama, sedikit banyak saya mendengar apa yang terjadi sehingga membuat Mbok Ana kesal. Jadi ceritanya, ada seorang ibu yang tadinya dipijat menuduh Mbok Ana telah mencuri cincinnya. Bahkan seluruh tubuh Mbok Anak diperiksa olehnya. Pada awalnya Mbok Ana masih bersabar mengatakan untuk mencari perlahan-lahan, tetapi si Ibu merasa yakin bahwa cincinnya telah dicuri. Cerita punya cerita, katanya si Ibu mengancam akan membawa polisi ke tempat pijat untuk menyelesaikan masalah ini. Mbo Ana bilang kepadanya bahwa dia akan disini menunggu Polisi datang. Hingga saya selesai pijat, masalah ini belum juga selesai.

Beberapa kali saya dipijit oleh Mbok Ana ini, pijitannya enak dan dia tahu kapan saatnya ngobrol dan kapan diam. Sedikit banyak, saya juga dapat menilai orangnya. Saya yakin beliau tidak mengambil yang bukan miliknya. Hanya satu omongan Mbok Ana yang masih saya ingat, dia bercerita bahwa saat itu dia marah, dan mengingatkan si Ibu untuk tidak memandang rendah orang lain, "Ibu jangan sombong ya, jika Tuhan berkehendak, dalam satu menit seluruh harta kekayaan ibu bisa lenyap" dalam hal ini dia mengacu kepada musibah yang dapat terjadi kepada siapa saja. Dari ceritanya, dia melihat apa yang terjadi pada saat kerusuhan Mei 98, ketika apa yang dimiliki si kaya, lenyap seketika.

Saya tertegun mendengarnya. Hal itu benar adanya. Apa yang kita miliki saat ini, juga dapat lenyap seketika. Amit-amit. Dulu ketika membahas apa yang dapat saya bekali untuk anak-anak saya. Sering kepikiran adalah materi, segala hal yang berhubungan dengan materi. Warisan entah rumah, usaha, asuransi atau apapun.

Ternyata ada hal lain yang harus kita bekali juga untuk anak-anak kita. Intelegensi, Moral, Prilaku yang baik juga bekal dalam hal Spiritual. Beberapa hal ini yang (mungkin) sering dilupakan oleh orang tua masa kini. Demi mencukupi kebutuhan materiil, kita terlalu sibuk, dan melupakan quality time untuk anak-anak,  menyerahkan tanggung jawab mendidik pada sekolah dan pengasuh, segala sesuatu serba instant - Kita lupa memupuk moral, prilaku baik dan intelegensi yang sesungguhnya yang dapat menjadi bekal hidup di masa akan datang..

Jika kita memiliki moral, prilaku dan intelegensi yang baik, saya rasa kita akan bertahan hidup dimana saja. Yang pastinya kita akan memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan intelegensi. Dengan moral, kita akan hidup dengan harga diri yang baik, dan tentunya dengan prilaku yang baik bukan tidak mungkin kita dapat menjalin pertemanan. Mengembangkan spiritual, kita akan mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan, kejadian dalam hidup ini. Ini masih merupakan pe-er untuk saya sendiri. hehe....

Sungguh disayangkan terkadang jika kita melihat orang-orang yang merasa lebih seperti si Ibu merasa dapat semena-mena memperlakukan orang lain sedemikian rupa. Tidak dipungkiri, kadang diskriminasi suku dan ras masih sering terjadi. Dalam hal ini, saya belajar, menyelami dan mencoba memahami prilaku manusia.

Tulisan ini merupakan reminder bagi diri sendiri agar tidak berprilaku demikian.Jika ada yang merasakan hal yang sama, semoga bersama-sama kita dapat membekali kehidupan kita dan anak-anak dengan lebih baik.

Selasa, 04 November 2014

Sang Penunggu Lift

Menurut moms, setelah memiliki anak, apa yang ribet? For me, semuanya menjadi ribet. Sejak memiliki anak, tidak ada yang namanya bisa makan tenang, mandi tenang, jalan-jalan tenang. Wkwkwkw...

Ketika jalan-jalan di mall, dengan dua buntut, saya sering membawa stroller, paling tidak untuk menaruh barang-barang atau ketika anak capai ingin beristirahat. Jika membawa stroller, satu hal yang bikin ribet adalah ketika harus naik turun lantai. Menggunakan eskalator ketika sedang mendorong anak dalam stroller adalah hal yang berbahaya, hal ini terlihat pada sticker-sticker yang tertempel di eskalator. Jika kita membawa stroller bayi ataupun kursi roda dianjurkan untuk menggunakan lift. Semua demi keamanan. Jika saya hanya menggendong anak tanpa membawa stroller saya lebih suka menggunakan eskalator, karena tidak suka berhimpitan dengan banyak orang dalam satu ruangan yang sempit.

Sebenarnya sudah lama saya memendam hal ini, akhirnya hari ini saya menuliskannya juga. 

Seringkali ketika sedang main di mall harus menuju beberapa lantai yang berbeda. Ketika pintu lift terbuka, saya sambil mendorong anak dalam stroller ingin masuk, tetapi akhirnya tertahan karena banyak sekali orang-orang yang begitu individualis, berebutan untuk menggunakan lift (bahkan ketika saya perhatikan tidak ada yang membawa anak, ataupun bersama orang tua). Akhirnya seringkali juga saya mengalah sambil diam menatap mereka. Pengennya sih biar mereka menangkap maksud tatapan saya. Wkkkk... Mereka yang kebanyakan para kaum muda tidak menghiraukan seorang ibu yang mendorong  stroller dengan anak di dalamnya dan satu anak dalam gendongan pengasuh, yang mau tidak mau harus menggunakan lift karena beberapa eskalator dipalang dilarang untuk dilewati. Akhirnya kami harus tetap menunggu hingga lift berikutnya tiba. Cukup dongkol memang. 

Saya kembali membayangkan orang-orang yang rasa pedulinya minim ini. Apakah ini contoh anak muda zaman sekarang. Saya tidak pernah tahu alasan mengapa mereka yang menerobos masuk ke dalam lift begitu terburu-buru. Bahkan hanya naik atau turun satu lantai. Atau tidak mau bergeser ketika kami harus mendorong stroller keluar dari lift. Membuat kepala kembali bergeleng-geleng. 

Untungnya hari ada dewa penyelamat ketika saya ingin turun dari lantai 4 menuju lantai dasar. Hari ini (4/11) dewa penyelamat saya bernama Mas Reza, beliau adalah Penunggu Lift di Central Park. Bisa dibilang demikian. Tadi Richard tiba-tiba tidak enak badan dan merengek ingin pulang, akhirnya makanan yang kami pesan di take away dan kami langsung menuju lift untuk turun, karena mobil parkir di bawah. Lagi-lagi ketika lift terbuka, orang-orang muda berebutan masuk ke dalam lift. Saya menahan diri untuk masuk kedalam karena sudah banyak orang yang berada di dalam lift, Tetapi Mas Reza hari ini dengan tegas mempersilakan kami ibu dan anak masuk dan mengatur orang-orang di dalamnya untuk bergeser. Dan kamipun masuk menuju lantai dasar. Tanpa harus menunggu lebih lama lagi.

Mas Reza, Sang Penunggu Lift, posisi yang disadari dan tidak disadari. Tetapi sangat membantu bagi saya yang ribet dengan anak tentunya. Beliau adalah petugas yang mempersilahkan orang masuk dan keluar dan menekan tombol lantai di lift. Beberapa mall memposisikan Penunggu Lift, dan saya rasa karena berbagai alasan, keamanan dan kenyamanan. Tapi saya sangat terbantu dengan hadirnya mereka. 

Artikel ini saya tulis sebagai sentilan kepada orang-orang muda yang pernah saya temui di pintu lift dimana ketika saya sedang membawa stroller bersama anak, dan mereka tetap masuk tanpa peduli ataupun mempersilahkan orang dengan stroller baby ataupun kursi roda masuk terlebih dahulu. 

Dan saya mempersembahkan artikel ini juga sebagai bentuk apresiasi saya bagi para Penunggu Lift. Terima kasih Mas Reza dan Reza-reza lainnya.

Sabtu, 04 Oktober 2014

When Everything Happens for a Reason

Menurut teman-teman, apa makna quotes tersebut? sedikit klise? yah.. mungkin saja. Seiring usia saya yang semakin bertambah tua, saya mulai menyadari apa yang dimaksud dengan kata mutiara ini.

Everything happens for a reason, jika diartikan secara sederhana, artinya Semua terjadi untuk alasan tertentu.

Jika menelaah kembali hidup saya, saya suka senyum-senyum sendiri mengingat apa yang pernah terjadi dalam hidup ini, betapa beberapa kali saya belajar bagaimana keputusan-keputusan baik yang sepele maupun yang penting saya ambil, bagaimana proses yang terjadi dalam hidup saya baik yang buruk dan yang baik yang ternyata ada hikmahnya tanpa kita sadari dan bahkan mungkin berefek panjang tanpa kita sadari.

Lahir di kota kecil, dan masa-masa sekolah dilalui, masa-masa pemberontakan sebagai seorang remaja juga dijabanin (baru sadar, papa mama saya begitu sabar dan mengasihi kami semua). Ketika kuliah, ikut-ikutan ke Bandung, ternyata saya bertemu beberapa komunitas yang membuat saya secara pribadi berkembang, untuk urusan kuliah untuk nilai cukup bagus tetapi bisa dibilang apa yang dipelajari ketika kuliah saat ini sudah terlupakan. Lulus kuliah berpikir untuk langsung bekerja, tetapi dianjurkan ke China oleh papa. Pada saat itu sebenarnya saya ingin langsung bekerja. Hanya saja Papa kekeuh saya harus ke sana, akhirnya ikut ke negeri Panda. Sesampainya disana, saya sempat menangis, karena tidak yakin bahwa saya akan menyukai lingkungan disana dan makanan berminyaknya.

Ternyata setelah menjalaninya selama 1,5 tahun disana, saya menyukai tinggal disana begitu juga makanannya. Haha... sempat kepikiran untuk mencari pengalaman kerja di sana tetapi karena merindukan kampung halaman. Akhirnya saya pulang. Ada satu kebetulan yang lucu, ketika saat baru pulang dan mencari pekerjaan, saya bertemu dengan teman SMA di sebuah pusat perbelanjaan (such a coincidence, saya yang saat itu tinggal di karawaci, belanja di hypermarket di Puri, dan bertemu di satu lorong - kalau mau dipikir-pikir betapa kecil peluang tersebut dapat terjadi kan?). Cerita punya cerita, bahwa status saya sedang mencari kerja, teman saya memberitahu bahwa ada temannya yang sedang mencari untuk posisi marketing yang membutuhkan bahasa China. Saya melamar dan kemudian diterima. Masa kerja yang tidak begitu lama, tapi juga merupakan masa-masa yang pastinya saya kenang karena rekan-rekan kerja yang pada gelok. Ternyata ilmu ini kemudian dapat saya terapkan dalam usaha suami saya saat ini. -- everything happens for a reason.

Sempat menjadi guru juga pengalaman tersendiri yang menyenangkan. Membuka mata saya ketika saat ini saya adalah seorang orang tua. Bagaimana menilai sekolah yang cukup baik untuk anak-anak saya. Bagaimana saya tertarik akan hal yang berbau pendidikan dan perkembangan anak. Bukan tidak mungkin jika suatu saat saya berkecimpung dalam dunia pendidikan. Maybe. Tetapi at least dari pengalaman tersebut saya bisa belajar bagaimana mendidik anak-anak. -- everything happens for a reason

Pertemuan kembali saya dengan suami saya (saat itu hanya teman biasa) juga tidak terlepas dari sebuah kebetulan yang manis (atau yang dinamakan jodoh). Saat itu hanya bertemu sesama teman lama, yang kebetulan satu apartemen, yang akhirnya berujung menjadi sebuah pernikahan. Lucu yah bagaimana waktu dan tempat serasa mempermainkan kita dan akhirnya menyatukan dua insan yang tadinya hanya teman lama biasa. Dapat memiliki dua keturunan yang mengajarkan tentang arti kehidupan seutuhnya. -- everything happens for a reason

Networking. Percaya atau tidak, itu bisa siapa saja. Bisa jadi teman semasa kecil, semasa sekolah, semasa kuliah, semasa kerja, atau siapapun yang pernah ada dalam hidup kita. Saya bisa bekerja dalam perusahaan tertentu atau expand usaha juga berkat teman-teman yang memperkenalkan. Sungguh karma baik bisa berteman dengan teman yang bisa membuat kita berkembang ke arah yang lebih baik. Bahkan orang-orang yang mungkin sehari-hari tidak kita anggap, ternyata bisa berpengaruh juga dalam hidup kita.

Apapun yang terjadi, semua itu hanya sementara. Tidak akan berhenti sampai disitu. Jangan pernah menyerah ketika cobaan datang mendera, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa akan datang. Jalani dengan sebaik-baiknya. Kita gagal ketika kita berhenti. Dan saya pun sedang berproses dalam hidup ini.

Everythings is temporary.
Every wiser has a past, every sinner has a future.

Be happy :)

























Minggu, 09 Maret 2014

Jangan Sampai Menyesal...

We are so busy growing up, we forget that they're also growing old. 

....................

Tadi malam salah satu teman sharing bagaimana kita bisa earn money and also spend money. Gimana caranya earn money tidak saya ceritakan disini, saya rasa teman-teman mengetahui lebih banyak. Nah, kalau spend money bagaimana? 

Lalu kemudian dia menceritakan bahwa dia lebih menghabiskan uangnya untuk memberdayakan orang lain, membuka lapangan kerja dibandingkan memberi sumbangan. Make sense. Kemudian lagi dia menceritakan bahwa cara spend money yang membuat hati bahagia adalah dengan membahagiakan orang tua, misalnya dengan membawa orang tua jalan-jalan dengan fasilitas yang nyaman tentunya (kalau memang kita mampu). 

Dia mengatakan bahwa dimana-mana orang tua pasti berusaha menghemat, apalagi misalnya yang membiayai adalah anak-anaknya.  Kalo tinggal di hotel, bilangnya "Jangan boros, toh cuman buat tidur, dimana saja samalah, makan yang biasa-biasa saja, toh keluarnya juga sama (haha)". Tapi sesungguhnya "Yi fen qian, yi fen huo- Ada harga ada barang". Kenyamanan, kualitas dan servis yang kita dapatkan berbeda.  Sampai sejauh ini dari yang saya kenal, tidak ada orang tua yang terang-terangan meminta fasilitas mewah. Begitupun orang tuaku dan mertua.

Yang lebih parah adalah konsep pemikiran orang tua yang mencari duit untuk anak. Jadi hidup sehemat-hematnya, makan hemat, apa-apa hemat, sekolahin anak ke luar negeri, ntar anak pulang dimodalin usaha, semua aset diberikan untuk anaknya. Sendiri tetap hemat. Hahaha...  Kalau anaknya berbakti itu nilai plus. Tapi apabila tidak berbakti, wah mau bagaimana? Kebanyakan nonton drama Singapore saya...wkwkwkw. Jadi kita yang jadi orang tua, pintar-pintar juga saving buat masa tua. Jangan semua melulu untuk anak.

Bagi yang sudah memiliki keluarga sendiri atau karir sendiri mungkin sering merasa bahwa apa yang kita miliki saat ini itu penting banget... "Gila! yang gw kerjakan ini prioritas nomor satulah, pasangan nomor satu, anak yang didahulukan, atau kalau pulang berkunjung berapa hari mikirin harus cuti,  ntar gaji dipotong." wkwkw. Demikian juga kadang diriku. Orang tuaku tinggal di kampung halaman sedangkan saya dan suami sekeluarga berdomisili di Jakarta. Mertua juga tinggal di kampung halaman. Jadi kira-kira 2 atau 3 bulan sekali mereka datang berkunjung. Dulu ketika anak baru satu dan belum bersekolah, dalam setahun bisa pulang berkunjung 3 kali. Tetapi saat ini saya sulit berkunjung ke kampung halaman karena Richard sudah bersekolah ditambah satu buntut lagi, Audrey-- kebayang donk kalo pulang rempongnya minta ampun. again.. another excuses.

Saya salut dengan pasangan suami istri yang juga sahabat kami, apabila orang tuanya ulang tahun, mereka ataupun salah satu dari mereka pulang merayakan bersama. Ingin rasanya misalnya pada hari ulang tahun orang tua, pulang ke rumah untuk merayakan bertambahnya usia mereka. Tapi ada-ada saja alasannya yang akhirnya berujung hanya pada ucapan Selamat Ulang Tahun lewat telepon dan kado yang menyusul. Sigh.

Aku pernah bertanya tentang impian Mama jauh sebelum saya menikah. Mama tidak meminta materi apapun, hanya mengatakan. " Yah, kalau bisa kita satu keluarga bersama cucu-cucu jalan-jalan bersama kemana gitu...,". Sampai sekarang belum terwujud. Hehehe... Saya rasa semua orang tua berkeinginan seperti itu. Nenek dari suami juga demikian, ingin berkumpul lengkap dengan semua anggota keluarga. Tapi setelah dikalkulasikan bisa 60 orang lebih. Yang paling memungkinkan adalah naik kapal pesiar bareng dan butuh EOnya. Haha..

Suami juga pernah bercerita bahwa salah satu customernya menyarankan, kalau ada waktu, ajaklah orang tua jalan-jalan. Jangan sampai menyesal seperti dirinya. Diceritakan bahwa dulu ayah customernya menginginkan untuk jalan-jalan ke kampung halamannya di China. Anaknya mengiyakan dan berpikiran harus mengumpulkan uang, usaha berjalan sukses, tapi yang namanya buka toko- pikirannya mungkin-- kalau toko tutup tidak ada income. Perjalanan tertunda... hingga sang Ayah meninggal. Menyesal memang datangnya belakangan.

Kita terlalu sibuk (menjadi dewasa, mencari uang, memanjakan pasangan, merawat anak) sehingga kita lupa bahwa orang tua juga terus menjadi tua. Jika kulihat kulit papa yang semakin keriput, rambut, alis yang memutih, hati terasa sesak. Melihat guratan-guratan halus pada wajah mama dan tubuh yang semakin menciut, aku takut waktu kebersamaan kami semakin sedikit. :(

Teman yang salah satu orang tuanya atau bahkan keduanya telah tiada, mungkin merindukan orang tuanya. Yang bisa dilakukan hanya pelimpahan jasa dan berdoa. Yah memang itu. Tapi bagi kita yang orang tuanya masih ada, apa yang bisa kita lakukan?

Mungkin bagi kita yang tinggal berjauhan dengan orang tua. Luangkan waktu untuk sesaat menelepon ataupun mengunjungi orang tua kita. Saya rasa orang tua jarang menelepon kita bukan berarti tidak ingin mengobrol dengan kita, tetapi mungkin karena takut mengganggu apabila kita lagi sibuk, jarang berkunjung, mungkin berpikir akan merepotkan kita... hehehe... 

Bagi yang masih tinggal serumah dengan orang tua. Renungkan, kapan kita benar-benar duduk bersama orang tua dan mendengar, ngobrol panjang lebar di sela-sela hari-hari kita yang sibuk. :) (kaya iklan Sariwangi -- Luangkan 15 menit untuk keluarga)..wkwkw....

Or mungkin melakukan perjalanan bersama-sama....

It's up to you....

_________________________________________________________________

Dalam Buddhisme, dikatakan dalam Kitab Sutra Bakti Seorang Anak, "Di antara Semua Dharma yang begitu banyak, Kebaikan Orang Tua adalah yang paling Besar, Sesungguhnya ada dua orang Buddha di setiap keluarga; yakni Ayah dan Ibu. Sayang sekali kebanyakan orang tidak menyadarinya, tidak perlu dihiasi sengan emas dan warna-warni, tidak perlu diukir dengan cendana. Lihat sajalah Ayah dan Ibumu sekarang. Mereka adalah Sakyamuni dan Maitreya. Kalau Engkau dapat memeberikan persembahan kepada mereka, tidak perlu lagi melakukan Jasa dan kebajikan lain." The kindness of Parents and the Difficulty in Repaying It (Filial Piety Sutra)


Kematian itu pasti, hanya saja datangnya tidak pasti.....

Jangan sampai orang tua sudah tiada baru kita menyesal.


ps. thanks for Serpong'ers for the inspiration.


Rabu, 12 Februari 2014

Happily Ever After?

Saat kepulangan saya ke kampung halaman saat imlek kemarin, saya menemukan album kenangan saat saya SMP, disana tertulis impian dan cita-cita saya: Bukan seorang dokter, pilot ataupun business woman, melainkan menjadi Mrs...   and live happily ever after (-karena biasa dalam film dongeng anak-anak, or drama komedi romantik ataupun novel-novel cinta sering ada kata-kata:...and they lived happily ever after, the end.) Happily Ever After dalam bahasa Perancis: Ils se marièrent et eurent beaucoup d'enfants (terjemahannya: They married and had many children - menikah dan memiliki banyak anak). Nah loh! Dulunya dalam pemikiran saya yah bener-bener happy ever after. Terdengar naif? Kalau dulu saya menjawab itulah impian saya. Apa jawaban saya saat ini?

Ternyata pernikahan adalah sebuah realita. Berkeluarga dan memiliki anak membuka mata kita - Butuh perjuangan. Hahaha... Perkawinan dan kesulitan sukar dipisahkan, dan begitu kita menikah, kita akan segera menghadapi persoalan dan tanggung jawab yang tidak pernah kita bayangkan dan hadapi sebelumnya. Dengan memiliki pasangan hidup dan keluarga semua menjadi keputusan bersama, berkolaborasi dengan pasangan hidup mulai dari mengatur urusan rumah tangga, merawat dan mendidik anak, mempersiapkan masa depan hingga bagaimana bersama-sama menghadapi sebuah masalah yang pastinya selalu ada dalam hidup manusia. Ternyata istilah "happily ever after" masih bersambung.... "to be continued..." Haha!

Terlebih lagi apabilah sudah menikah, realita pernikahan itu bukan hanya di antara dua insan. Jadi yang istilahnya "Aku dan Kau" harus dikoreksi menjadi Aku, Kau, dan Semuanya. Semuanya siapa? Semuanya adalah dua keluarga besar yang menjadi satu juga dan juga semua yang berada dalam lingkungan kehidupan kita. Banyak tipe keluarga, ada yang konvensional, ada yang demokratis. Apabila kebetulan pasangan tersebut berlatar belakang yang berbeda. Pintar-pintarlah pasutri tersebut memadukannya dan menumbuhkan rasa memaklumi antar keluarga. Apabila tidak ada yang mau mengalah, ya fatal akibatnya.

Menjelang pernikahan anak-anaknya, orang tua biasanya memberikan wejangan: "Pesta hanyalah sebuah perayaan baik itu acara sederhana ataupun mewah, yang penting kalian berdua (pasangan yang akan menikah) ke depannya menjalani pernikahan dengan baik dan saling pengertian. " -- kira-kira begitu intinya. Setelah saya renungkan, mungkin orang tua juga sudah melewati masa-masa up and down dalam pernikahannya. Jadi nasihatnya ngena banget.

Menurut Anda pernikahan yang berhasil dan bahagia itu seperti apa? Salah satu teman saya mengatakan, Pernikahan yang berhasil dan bahagia adalah ketika kita menjadi pribadi yang lebih baik dibandingkan sebelum menikah. Secara tidak langsung semuanya berjalan dengan lebih baik juga. Ini bukan hal yang mudah lho, karena ada kecenderungan setelah berkeluarga: high expectation, harapan yang tinggi terhadap pasangan malah "mencengkram" pasangan untuk berkembang ke arah (yang mungkin lebih baik), dan apabila harapan tidak terpenuhi biasanya kita bisa kecewa ataupun marah kepada pasangan kita yang kemudian menumbuhkan bibit-bibit buruk dalam pernikahan.  
Dr. K. Sri Dhammananda dalam bukunya yang berjudul "Perkawinan yang Bahagia" menuliskan, "Perkawinan adalah persekutuan antara dua individu, yang diperkaya dan ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan kepribadian yang bersangkutan tumbuh. Banyak perkawinan hancur berantakan saat sekutu yang satu mencoba 'menelan' sekutu yang lain, ataupun saat satu pihak menuntut kebebasan penuh. Menurut Ajaran Buddha, perkawinan berarti memahami dan menghargai keyakinan dan keleluasaan satu sama lain. Perkawinan yang berhasil selalu merupakan jalan berjalur dua: suka-duka , sukar namun selaras. KESABARAN, TOLERANSI dan SALING PENGERTIAN adalah disiplin yang penting untuk diikuti dan dipraktekkan oleh semua orang dalam perkawinannya. Rasa aman dan puas datang dari saling pengertian yang merupakan KUNCI menuju PERKAWINAN YANG BAHAGIA."

So teman-teman yang sudah berkeluarga, Mari kita sama-sama berlatih kesabaran, toleransi dan saling pengertian terhadap pasangan kita. :)

p.s for my hubby, "Terima kasih untuk selalu sabar terhadapku. Kita sama-sama berjuang demi keluarga yah, Yang"

quote by me:

Life is simple but we insist to make it complicated. (cari masalah dengan menikah?wkwkwkw)

Being alone doesn't mean you're lonely. (untuk teman-teman yang memilih untuk tidak menikah)



Kamis, 02 Januari 2014

Richard : "Asyiiikkkk...Mau ke Dokter Gigi!"

Bingung baca judulnya? Wkwkwkw... Saya juga bingung... se-happy itukah ke Dokter Gigi?

Bagi saya, kunjungan ke dokter gigi adalah mimpi buruk. Sampai setua ini, urusan gigi tetap membuat jantung ketar-ketir tak karuan. Masih teringat sewaktu kecil bersama adikku ke dokter gigi, begitu memasuki kliniknya, warna putih dimana-mana keramik putih, dinding putih hingga gorden putih. Samar-samar tercium bau ruangan yang khas dan terdengar bunyi bor yang melengking. Ngiiiiiingggggg..... Apalagi kalau sayup-sayup terdengar suara erangan kesakitan. Mau kabur tak bisa, gigi sedang sakit.  Saat giliran tiba, aku dan adik saling mendorong siapa yang duluan, kemudian masuk dan duduk di kursi pasien, pasrah.

Kesadaran untuk merawat gigi ketika saya kecil kayanya masih kurang, alhasil gigi tidak rata dan sering bermasalah. Mungkin pemikiran orang tua saat itu bahwa gigi susu rusak-ya rusak, tidak perlu dirawat. Toh akan berganti gigi asli. Sejak SD tidak terhitung uang yang dikeluarkan papa untuk biaya perawatan gigi. Sampai saat ini sering sirik kalo ngeliat gigi teman-teman yang rapi. Oleh sebab itu, untuk urusan gigi anak, sedapat mungkin jangan sampe deh giginya seperti mamanya.

Niat boleh begitu, tapi kenyataan berkata lain. Hahaha.... Karena sering tidur sambil menyusui, gigi Richard juga tidak terbilang bagus. Karies di gigi susu depan bagian atas. Padahal sudah diwanti-wanti mertua untuk merawat gigi cucunya..kkkkk. Beruntung ada satu teman semasa SMA mengambil spesialis gigi anak dan membuka klinik gigi khusus anak-anak di Jakarta yang letaknya tidak jauh dari rumah. Nama kliniknya Kidz Dental Care & Orthodontic Clinic. Dari judulnya sih sudah kebaca, Spesialis anak. Coba-coba saya bawa Richard kesana. Ternyata berkunjung ke dokter gigi menjadi hal yang menyenangkan buat Richard :)

Pertama kali ke klinik yang terletak di kawasan Puri tersebut Richard disambut nuansa yang nyaman dan colorful buat anak-anak. Saat itu hanya ada 1 ruang tunggu dan 2 ruang praktek. Susternya ramah dan Richard langsung kerasan bermain di ruang tunggu. Tidak lama Drg. Olivia (saya biasa memanggilnya Uwik) keluar dari ruang praktek dan berkenalan dengan Richard. Selalu senang rasanya bertemu dengan teman lama, apalagi satu kampung, teman sekelas dan duduk bersebelahan.  Saling bertanya kabar teranyar kamipun masuk ruang praktek. 

Ruang prakteknya nyaman, di dindingnya ada gambar binatang yang lucu-lucu dan berwarna warni, tidak seperti ruang praktek ketika saya kecil dulu yang seperti latar film SAW :p. Kedatangan pertama saya hanya mengajak untuk sekedar pengenalan dan konsultasi untuk perkembangan gigi Richard sekalian pengenalan agar Richard tidak takut apabila harus ada tindakan. Bercengkrama dengan dokter dan suster kemudian naik ke atas kursi, Drg Olivia memperkenalkan alat-alat yang mungkin akan digunakan di kemudian hari. Untuk konsultasi perdana, Richard melaluinya dengan baik.


Ketika gigi atas depan Richard bertambah parah, saatnya tindakan. Menambal. Wakssss...(Saat itu usianya hampir 3 tahun). Saya sudah deg-deg-an, apa Richard mau duduk diam di kursi pasien?. Sebelum ke klinik saya putar berkali-kali video anak yang berkunjung  ke dr gigi dan yang pasti anak tersebut masih tetap terlihat ceria. Youtube berperan besar memperkenalkan Richard mengenai kunjungan ke dokter gigi. Hehehe..

Emang Dokter Spesialis Anak kali ya... memang sudah terlatih dalam menghadapi anak-anak :). Sabar menghadapi Richard yang kegelian dan yang belum terbiasa duduk diam. Tidak ada adegan meraung-raung saat tindakan, Richard mengikuti arahan Dokter untuk menganga dan berkumur-kumur sambil menonton film Angry Bird kesukaannya yang waktu itu saya bawa sendiri - jaga-jaga kalau tidak ada film yang dia sukai yang disediakan klinik. Ternyata di klinik banyak pilihan film yang bisa diputar. Hehehe..
Silau, makanya pake Sunglasses (nyontoh youtube)
Mengenali seluk beluk di klinik
sakit sedikit gapapa yah Ko... (20120522)





Pemeriksaan gigi dan penambalan berlangsung lancar. Gigi Richard menjadi bagus. Magic. Hahaha.. Kalo orang-orang liat pasti bilangnya mamanya rajin nyikatin giginya, padahal hasil kerja Uwik alias Drg. Olivia. Kkkkk...

Lama tidak memeriksakan giginya, mendekati akhir tahun 2013, Richard memeriksakan giginya kembali sekaligus membersihkan karang giginya. Awalnya saya bingung kog ada anak-anak yang keluar masuk ruang di belakang, ternyata ruangannya diperluas dan semakin nyaman. Dua ruang praktek baru (tidak saya foto, bisa lihat di blogspot www.kidzdentalcare.blogspot.com) dan satu ruang tunggu baru yang nyaman juga. Total menjadi 4 ruang praktek yang temanya berbeda-beda dan 2 ruang tunggu.

ruang tunggu yang sejak awal sudah ada

ruang tunggu baru 

ada aquariumnya - Richard paling senang melihat ikan.
ga usah takut bosan menunggu, ada creative area bisa mewarnai dan puzzle words
Santai saja....wkwkwk.... (picture taken today)
Pulang-pulang ga tangan kosong, ada pilihan hadiah karena sudah berani memeriksakan giginya (paling happy Richard kalo dapat hadiah) :)
Emang Asyik ke Dokter Gigi! hehe...
Biarpun gigi mami mencang-mencong, gigi Koko jangan yah...

Thanks Dokter-dokter yang cantik yang sudah menghilangkan ketakutan saya membawa anak ke dokter gigi. :)



Tips dari saya kalau mau ngajakin anak ke Dokter Gigi:

1. Search : Cari Klinik yang nyaman untuk anak-anak (untuk di Jakarta, Kidzdentalcare recommended dehhh)
2. Intro : Sebelum memeriksakan diri boleh putar youtube (search for kids dental visit) tentang kunjungan anak ke dokter gigi yang berakhir dengan ceria -- jangan yang malah nangis yahhh... :)
3. Introducing : Perkenalkan anak sejak dini mengenai kunjungan ke dokter gigi - agar tidak takut ketika harus mengambil tindakan. Mungkin pertemuan pertama kenalan dan main-main dulu.
4.  Encouragement: Saya biasa selalu memuji Richard setiap selesai kunjungan. Hihihi...

last but not least, yang pasti harus rajin merawat gigi.  Biar senyumnya cemerlang. :)

Kalo mau tau info seputar klinik ini bisa klik: www.kidzdentalcare.blogspot.com


Senin, 11 November 2013

Tuluskah?

Sudahkah saya berbuat baik hari ini? Jawabannya hingga pukul 10 lewat 12 menit ini... Belum. Yang ada hanya rutinitas sehari-hari dan pikiran yang berjalan-jalan. Sudahkah saya berbuat baik akhir-akhir ini? Mikir lagi.... berpikir keras..... Yah, sepertinya ada. Tuluskah?....emmmmm....mikir lagi. Kata pemuka agama dan ajaran guru, kalau mau berbuat baik harus tulus. Bisakah saya tulus dalam berbuat baik?

Saya pernah memberikan tumpangan ke seorang tante (mungkin usia 60an) karena saya kasihan melihat dia berjalan dengan tongkat. Dalam mobil dia berkata bahwa sebenarnya dia masih bisa bekerja gosok dan menyapu. Saya hanya diam dan menyelipkan sedikit uang kepadanya ketika dia hendak turun. Pikir saya kasihan. Saat itu - tulus. Mungkin hanya sekali ini berjumpa dengannya.

Sejak Richard sekolah pagi, saya sering belanja sekitar sekolahnya dan ternyata tante ini sering ada di pasar itu juga setelah beribadah pagi. Kala itu, saya memberikan  sedikit bantuan, saya pikir kasihan, seorang diri tidak menikah, berjalan begitu jauh. Saya antarkan juga sampai di rumahnya. Masih tulus ingin membantu.

Hingga suatu ketika ketika saya sedang menunggu antrian tukang jamu di pasar, tante menghampiri saya. Saya tawarkan untuk minum jamu, tante menjawab "ga mau jamu, mau goban aja" - kala itu saya sedang membuka dompet untuk membayar jamu, dan memang ada uang lima puluh ribu terselip di dompet saya. Saya sempat terkejut saat tante berkata demikian, dalam diam saya tarik lembaran itu dan memberikan kepadanya. Dan tante itu pun berlalu. Tukang jamu sampai tertawa dan nyeletuk " ga mau jamu, mau goban saja yah Ci..". Tuluskah saya saat itu? mulai mikir.....

Hari berganti hari, sering kami berpas-pasan di pasar, saat minum jamu, tante datang menghampiri, atau ketika berbelanja tante menunggu dalam diam. Saat masih ada uang sisa belanja, saya berikan, tapi ketulusan telah memudar. Minggu lalu, kaca mobil saya sempat diketuk, saya tidak berkata apa-apa dan hanya pamit mau pulang. Dia hanya tersenyum. Kemarin tante ini yang menghampiri saya, dan menunggu dalam diam. Menyadari diri saya tidak lagi tulus dalam memberi, saya mengurangi jumlah yang saya berikan. Berharap agar tante tidak lagi seperti ini.Tukang sayur langganan nyeletuk, "Dah jadi kebiasaan atuh Ci..." 

Berapapun yang saya beri, bahkan ketika saya juga tidak memberi, tante tetap tersenyum. Ada sedikit perasaan bersalah ketika saya naik mobil, dan membiarkannya berjalan. Tetapi ada perasaan yang mengganjal ketika setiap ke pasar dan bertemu dan disapa olehnya, rasanya sapaan itu penuh makna. Membuat saya dag-dig-dug. Hahaha. 

Dalam hati saya ingin membantu, tapi ketika membuat diri seseorang menjadi 'greedy' saya rasa itu bukan hal yang baik. Atau saya yang sudah tidak tulus - hingga mencari celah sisi negatif dari tante? Maafkan saya Tante.

Hingga hari ini saya belum berani mengatakan isi hati. Haruskan saya berterus terang agar tante tidak lagi berharap seperti ini? Menghindari bukan hal yang baik. Saya menyadari yang muncul malah perasaan buruk akan diri sendiri. Tidak seharusnya begitu kan ketika kita ingin berbuat baik? Harusnya perasaan ringan yang muncul, harusnya perasaan baik yang muncul.

Dua kali saya menyadari, niat baik saya ternyata berakhir tidak tulus. Bermaksud menjadi membantu ternyata malah berakhir tidak baik. Mengamati pikiran sendiri ternyata begitu bias. Menulis akan hal ini, adalah bentuk instropeksi diri. Memberikan bantuan jangan perhitungan, kalo sudah perhitungan lebih baik jangan memberi dulu, karena tidak tulus. Hahaha.... Makin ngaco nih....

_________________________________________________________________________________
Sedikit sharing dari teman, dalam Buddhisme, ada istilah pelimpahan jasa, jadi ketika saat kita berbuat baik, kita bisa melimpahkannya kepada orang-orang yang kita cintai. Caranya? ketika saat kita melakukan satu perbuatan baik, kita bayangkan secercah sinar putih masuk ke dalam tubuh orang yang kita sayangi sembari berdoa di dalam hati. Terbukti berhasil atau tidak? mungkin sama halnya dengan kita mendoakan orang yang kita sayangi. Apapun yang terjadi tidak terlepas dari karma masing-masing.

"terlepas apakah hal tersebut disengaja atau tidak disengaja, sekecil apapun juga keburukan yang dilakukan akan menghasilkan keburukan. Sekecil apapun juga kebaikan yang dilakukan akan menghasilkan kebaikan. Ini hukum alam yang tidak terbantahkan.", dikutip dari buku Enjoy dalam Dharma (semalam bersama lama Dharmavarja), Heru Suherman Lim dan Kelvin Islan, 2010.