“Kita ini orang-orang buangan.” Dua kali aku mendengarnya hari ini, di ruangan Oma dan di ruangan Opa.
Pagi hari itu cuaca mendung. Hari libur Nyepi. Jalanan terlihat sepi. Enam mobil menuju ke arah yang sama. Melewati area pelabuhan yang terdapat banyak container. Tidak terlihat pusat perbelanjaan seperti area Jakarta lainnya. Hidup disini terasa keras.
Kami mulai memasuki jalan sempit. Terasa mepet ketika melewati mobil yang sedang parkir. Tiba-tiba banyak anak yang mengarahkan kami parkiran sekolah. Banyak perawakan mereka seperti dari Flores. Ketika memasuki parkiran sekolah, kami melihat ada satu bangunan dengan penuh jemuran baju di pagarnya. Seorang opa dengan tongkatnya terlihat sedang masuk ke dalam bangunan. Di depan bangunan tersebut terdapat pembuangan sampah. Baunya agak menyengat. Sepertinya itu ruangan para Opa. Dan ketika bertanya kepada pengurusnya ternyata benar.
Sesuai rencana, setelah semua berkumpul, dan kami memulai mengunjungi ruangan para oma. Bawaan beberapa kotak berisi makanan dan souvenir dan barang lainnya digotong ke ruangan tersebut melewati jalan-jalan becek.
Pada ruangan yang kira- kira berukuran 6x10 meter terdapat 12 ranjang dengan rangka besi. Sekeliling terpasang jendela, yang membuat sirkulasi ruangan yang baik. Ranjang yang terisi ada 8 wanita, 7 diantaranya lansia, dan 1 yang masih muda tetapi sepertinya ada kondisi spesial. Satu dispenser air yang terlihat kotor berada di sebelah pintu menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi terpasang pegangan-pegangan besi untuk mencegah penghuni jatuh. Air di wastafelnya tidak mengalir. Tumpukan baju kotor terongok di bawah area wastafel.
Singkat kata kamipun membagikan kue, bola latihan, makanan dan souvenir. Dokter Caepy mengecek kesehatan para penghuni dibantu putranya Dhira yang sigap. Mengecek tekanan darah, dan menanyakan keluhan-keluhan oma-oma. Kami mencoba berbaur dengan para oma.
Oma Siti dari Palembang yang kedua matanya tidak dapat melihat mengeluhkan suka kedinginan, sakit di badan, tetapi terlihat ceria dalam menjawab pertanyaan kami. Teman sebelah ranjangnya Oma Bersy berasal dari Manado. Saat bercerita tentang makanan khas daerah masing-masing, raut wajah mereka terlihat bersemangat. Seketika aku memikirkan sepertinya boleh nih kalau kadang-kadang bisa bawa makanan khas kesukaan mereka. Di atas ranjang Oma Bersy terlihat satu cup pop mie. Oma Siti dan Oma Bersy terlihat sangat menikmati kue bolu gulung buatan Liece. “Enak sekali” Kata Oma Siti.
Ibu Susana terbaring miring diatas ranjangnya yang beralaskan bahan spanduk. Kepalanya di atas bantalnya yang tidak ada sarungnya, kotor telihat. Kedua kakinya terlihat mulai hitam dan penuh koreng, tangan kirinya terlihat ada dislokasi tulang. Beliau mengeluhkan kondisinya yang ditinggal anaknya di panti. “Anakku hanya memerdulikan pacarnya, tidak perduli padaku. Aku dibuangnya di sini.” Ibu Susana terus menerus mengeluhkan kondisinya kepada kami yang menghampirinya dan meminta uang, katanya untuk membeli makan karena kalau tidak kasih uang, tidak ada yang mau membantunya.
Empat penghuni lainnya, ada yang terkena storke menggunakan tongkat, ada yang hanya terbaring dengan diam, satu oma berbaju hijau terlihat pemalu, hanya tersenyum. Dan ada satu anak muda yang sepertinya ada keterbelakangan mental.
“Kita ini sudah dibuang sama anak. Jadi kita terima sajalah.” Kata Oma yang paling ceria di ruangan ini, dengan penampilannya yang berkacamata, beliau yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kami dan menjelaskan kondisi disana. Oma yang tegas ini menempati ranjang yang paling depan, ranjangnya terlihat paling rapi dibandingkan penghuni lainnya. Sepertinya beliau juga yang membantu menjaga penghuni-penghuni yang lain.
Kami menghabiskan waktu di ruangan Oma cukup lama. Melihat raut wajah yang berbeda dari setiap mereka, membuatku bertanya-tanya apa isi hati mereka. Melihat ke sekeliling ruangan, untungnya ada jendela di hampir semua sisi, jadi sirkulasi udara termasuk sangat baik. Setelah membagikan buah, kue, biskuit, nasi, selimut, kami pamit kepada para Oma untuk berkunjung ke ruang Opa.
Berjalan melewati gereja, ruang Opa terdapat 5 ranjang, 4 ranjang untuk para Opa dan sepertinya 1 ranjang untuk pengurus. Pengurusnya adalah anak asuh Panti Asuhan. Ada Opa Yohanes yang sangat ceria, perawakannya plontos, penuh senyum. Ranjangnya penuh dengan boneka. Katanya beliau terkena osteoporosis. Berjalan dengan bantuan walker. Dengan semangat beliau cerita setiap pagi ada doa bersama, dan setiap Minggu pasti ke Gereja (yang terdapat di sebelah panti persis). Kadang-kadang Opa Yohanes juga menggoda anak-anak yang berkunjung. Ganteng katanya anak-anak Liece dan Dharma yang sigap membagikan kue dan makanan.
Di seberang ranjangnya ada Opa Ferry, yang terlihat pendiam, ada tongkat di sampingnya, beliau menderita stroke dan darah tinggi. Dari ranjangnya terlihat cukup rapi. Dari yang tadinya hanya tersenyum sambil memperhatikan, pelan-pelan Opa Ferry mulai membuka diri. Dari ceritanya, anaknya mengusirnya ketika beliau terkena stroke. Adiknya yang membawanya ke panti ini. Istrinya di Semarang, tidak tahu kalau Opa Ferry di panti jompo. Katanya, kalau ada ongkos, mau ke Semarang. Lalu beliau bercerita lagi, kalau dulu ke German, ke Kalimantan, tapi sekarang malah di sini.
Saat ditanya kami dari mana, aku menjawab kami dari Ikatan Alumni Keluarga Mahasiswa Buddhis Parahyangan. Seketika beliau menangis tanpa suara. Katanya “Aku ini Chinese.” Untuk sesaat Opa Ferry terdiam. Lalu setelah agak tenang, beliau bilang “Kami ini orang-orang buangan.” Aku ga tau mau ngomong apa, cuman bisa bilang, “Om Sabar ya, maafin anak-anak Om. Kalau Om kesal, ini remas-remas bola ini aja jadi sekalian kesalnya hilang dan latihan biar cepat sembuh. Sering-sering latih kaki juga.”
Lalu Opa Ferry mengatakan bahwa salah satu penghuni lainnya ini ada keterbelakangan mental, biasanya tidak mau pakai baju, hari ini dipaksa-paksa untuk pakai baju, untungnya mau. Buang air kecil dan besar diatas ranjang. Ranjangnya memang terlihat kotor, tidak ada spreinya dan terlihat agak basah. Beberapa lalat terlihat. Bapak itu memakai baju yang bolong-bolong terlihat terus makan dan makan.
Lalu ada Opa yang ranjangnya paling depan dekat pintu masuk menderita katarak. Secara fisik cukup baik. Dulunya beliau kerja di bidang minyak. Penglihatannya memudar, butuh operasi. Hanya saja mau biaya dari mana.
Saat ini di panti ini terdapat 12 Opa Oma, 65 anak asuh tidak semuanya yatim piatu, tetapi karena kekurangan biaya di Nias, jadi diasuh disini, dengan 20 pengurus. Anak – anak juga disekolahkan. Dari info dengan Pak Beba, tidak ada donatur tetap.
Baru-baru ini ada Oma yang meninggal, kata Pak Beba, kadang jika ada orang tua yang meninggal, keluarganya tidak dapat dihubungi. Akhrinya mereka melapor ke Pak RT, dan memproses pemakamannya. Kadang ada keluarga yang akhirnya datang, orang tuanya sudah tiada, komplain. Padahal sudah dihubungi dan tidak bisa terhubungi.
Penampakan panti jompo ini mungkin karena keterbatasan area, tidak ada ruang tamu ataupun ruang aktivitas, jadi memang sehari-hari jika ada yang memiliki keterbatasan fisik tidak bisa bergerak kemana-mana. Sungguh kondisi yang tidak nyaman. Saya tidak berani membayangkan hari-hari yang harus dilewati para orang tua tersebut. Dari panti lainnya yang pernah saya kunjungi, panti ini membutuhkan perhatian lebih. Mungkin karena panti ini menampung orang-orang yang tidak mampu, jadi kondisinya juga tidak bisa seindah panti-panti jompo lainnya dengan fasilitas lengkap.
Saat perkenalan-perkenalan dengan Opa Oma di panti, membuatku merenung. Bagi yang masih memiliki kepahitan-kepahitan, terasa sangat menderita. Lebih menderita lagi saat kita memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik. Membuat kita untuk sulit menumbuhkan pikiran-pikiran baik. Berbeda dengan yang sudah melepaskan kepahitan-kepahitan. Menerima kondisi yang ada. Let it flow.
As a daughter, as a mother aku memiliki harapan-harapan. Berbakti kepada orang tua, dan bisa hidup di masa tua dengan baik. Tetapi apakah ada yang bisa menjamin pasti bisa tercapai seperti keinginan kita? Semoga pikiran-pikiran baik bisa menyertai para penghuni panti, dan semoga semakin banyak yang bisa berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan, menghibur, membantu dan menguatkan mereka di saat mereka merasa ‘terbuang’. Sehingga tidak akan ada lagi kata-kata “Kami ini orang-orang buangan.”